Sebuah Malam Akhir Juli

Tertegun sesaat pada malam di mana mayoritas pemuda tertawa sepanjang malam panjangnya, dan kamu, duduk sendiri tanpa makmum, melantunkan firman-firman Yang Tidak Pernah Tidur.

Dalam langkah tabrakan mataku pada punggungmu, batinku teduh menyadari bahwa rumah Allah masih ada yang mengunjungi. Pada niat dalam hati sebelum takbir, suaramu tak lagi sayup namun menjernih, tidak sedikit melunturkan was-wasku yang juga sedang sendiri. Pada tatapanku menatap karpet hijau kosong, bisikan syaitan begitu merdu menggodaku untuk melantur dalam khusyuk ibadah yang kudamba.

AllahuAkbar, takbir pertamaku, suaramu hilang dan segera kuganti dengan lantunan zikirku, Al Fatihah, surat pendek, hingga salam. Aku mampu menguasai lidahku. Aku penuhi gerak sadarku. Alhamdulillah, tidak ada imajinasi tentang sosok putih memakmumkan diri, atau bayangan hitam yang lulu lalang, atau sebuah sosok di sebuah pojok yang hawanya sedang mengawasi.

Panjat doa kusampaikan dalam malam di tengah riuh suara dan gelak tawa pembawa acara di Graha Cakrawala. Dalam tenang, suaramu masih ada. Aku yakin ucapan kita di sini pasti Allah dengar meski tanpa pengeras suara. Apalagi lantunan ayat-ayat Kitab Suci yang terbaca selalu menyuguhkan ketentraman jiwa lebih dari sebuah single Willamette Stone yang pernah kuputar setelah doa tidur selama berbulan-bulan, berturut-turut, setiap hari, sampai hilang sadar diri. Tapi hati akhirnya menyadari bahwa lantunan musik dan ayat suci Qur’an tidak bisa bekerja sama menyuguhkan kedamaian hakiki. Yang satu air dan yang lainnya minyak. Tidak akan bersatu meski pada gelas yang sama tegak, meski “kenyamanan” sama-sama disuguhkan untuk menjadi capaian puncak.

Gresekan seorang pejalan kaki yang statis kecepatannya menyadarkanku bahwa hari semakin malam, gelap, dan dingin. Segera kulipat mukenah masjid dan kumelangkah menuju titik di mana mataku dan punggungmu berpapasan 3 detik. Lagi, MasyaAllah, masih ada suaramu. Lalu kuberjalan menuju tangga, dan menoleh lagi untuk memastikan bahwa kau memang masih setia pada rumah Allah. Lagi, suaramu masih ada, tapi ragamu di mana? Dahiku mengernyit.

Pejalan kaki telah pergi jauh dan suaramu pun,

masih ada?

Lalu siapa yang sedang ngaji ini?

Dua koma tujuh lima detik sudah cukup bagi mataku menyapu setiap pojok masjid.

Diam dalam kernyitan dahi yang semakin menjadi dan beristigfar.

Nyatakah wujud yang aku lihat sebelum Isya’ku?

Nyatakah suara yang temani sepiku?

Baiklah, sampai di sini saja definisi “kamu” dalam baris kataku.

Mungkin memang hanya suaramu yang dihadirkan dalam langkah sendiriku, tapi bukan ragamu, apalagi hatimu.

Wallahu’alam.

UM, akhir Juli, 2017.

Kisah nyata.